Sabtu, 25 April 2009

"Cinta yang rakus"

Aku tak mengerti...
Kemarin...dia tersengal hampiriku, gelayut manja, celoteh tak berkesudahan hingga mulutnya kering.
"Ada apa?" tanyaku. Jeda berinya waktu berpikir, tapi bibirnya tetap rekahkan senyum.
"...sedang jatuh cinta?"
"..."
Diamnya mengatakan ya, dan hela nafasku cukup menanggapinya.
Ingatanku kembara...saat Aku terakhir menemaninya, saat raganya mengalami trance tiap kali bersentuhan dengannya, kuasanya hilang, berganti pipi yang merona, senyum gugup, jemari gelisah. Haa..merasakannya lagi mungkin bak menuruni tangga yang menjulang ke langit, tapi sebelum mata mengerjap, kaki telah tapaki bumi.
"Kau senang, dia menemani lagi??"
Lidahnya kelu, Dia tak tau Aku pun ragu.
"Kali ini, dia akan tinggal berapa lama?" tanyaku selipkan resah.
Dia mengangkat bahu, Aku meringis.

Tapi...hari ini. Bibir itu menukik tajam ke bawah, wajahnya mengerut cemberut, sedu iringi sendu. Aku bergidik, kemuraman yang suram, pikirku.
"Aku cemburu," sungutnya kesal. Pun cinta hidupkn imunitas, matikan skotofobia dan kortisol, Aku tak yakin dia akan kebal terhadapnya. Toh, cemburu sudah setua umur manusia, dilahirkan kembar dengan rasa cinta saat Adam dan Hawa tercipta.
"Cemburu???" Gelak ku tak tertahan, abaikan rupanya yang masam. Rasa aneh itu seperti reaksi alergi. Pajanan pertama, sel-sel masih mengabaikannya, atas nama cinta mereka diobolehkan untuk singgah. Seperti bumbu dapur yang gugah selera hingga air liur pelan menetes. Dia hanya penyedap rasa. Pajanan kedua, ketiga...masih sama. Hingga sel mulai jemu, keluh jenuh tiap cicipi rasanya. Muak, habiskan waktu muntahkannya di dalam kloset, di sisi pintu, di balik pohon, di depan wajahnya.
"Bukannya cemburu itu cinta?" Dia menggeleng.
"Cinta tidak boleh menyiksa seperti ini," ujarnya terdengar ragu.
Iya..cemburu adalah emosi yang dikonstruksi secara sosial, artinya situasi yang menimbukan cemburu telah ditentukan secara kultural. Aku menyebutnya 'cinta yang rakus'. Tak tau harus berbuat apa, kuraih dirinya dalam dekapku. Perlahan isak pecah kebisuan. Hatinya geliat gelisah, tersesat resah coba puaskan dahaga mengharap lega.

Cerita ini seretku paksa, pandangi sebuah sel pesakitan yang menunggunya, seperti memunguti jejak jejak isak. Haaa...cerita berulang yang tak pernah usai.

Selasa, 07 April 2009

"...kembali menunggu"


Beberapa hari terakhir ini, dia mulai sering menunggu. Mulai dari menunggu derai hujan yang menimpa atap berdenting lebih lemah dan jarang, menunggu gelembung-gelembung air panas yang meletup di atas panci saat akan membuat teh, menunggu iklan di TV berganti dengan sinetron, menunggu seterika panas, menunggu kukunya lebih panjang untuk di rapikan, hingga menunggu tanggal baru datang untuk bisa mengambil jatah bulanan. Tapi menunggunya menunggu serpihan rasanya menyatu membentuk kisah yang utuh, adalah hal yang paling membuat kesal.
Aku lupa hari, tanggal dan jam pastinya, seakan ini tentang sesuatu yang muncul secara misterius dari sebuah tongkat sulap atau sebuah tanda yang tiba-tiba hadir tanpa pertanda, saat menunggu mulai mengambil satu ruang dalam sadarnya, menjelma sebagai realita baru yang harus dijalaninya setiap waktu. Menunggu membuat waktu begerak sangat lambat dalam dunianya.
Dia mulai bosan...kakinya bergerak tanpa henti, menghentak lantai tanpa irama, jemarinya menari, ketuk meja tanpa ritmik yang harmonis.
“Masih lama?” tanyaku. Usir jauh jalar kebosanan yang mulai hinggap, resah menguntitku gelisah.
Kedua bahunya terangkat dengan malas, terpaku pandang ke satu-satunya pintu masuk yang terus menua menunggu pengunjung yang singgah untuk menunggu.
Perempuan ini, pemain sandiwara sempurna, tegar polesi rapuh dengan tegasnya kata, riang himpit sedih dengan ukiran tawa. Aku, penonton yang menggilainya, takjub menyemat, sindir rinduku sering.
Hening...geraknya terhenti, degupku ikut melambat. Inikah waktunya...??
“Aku pulang...”
Kataku tersekat, rasa menyengat panik. Sendu iringi setipis senyum di bibirnya.
”..atau kita menjemputnya?”
Dia menggeleng.
”...Aku berhenti” lelah gelayut manja di ujung desahnya. Geram membuncah, rutuki bayang retak yang tak pernah jelas buatku.
”....menunggu siapa?” Aku ingin tau, pelakon di balik kisah menunggu ini. Sesuatu tak pernah hadir tanpa pertanda. Geraknya hanya loncatan diantara pijakan yang diciptakan untuknya.
Dia berbalik sesaat sebelum beranjak pergi. Bukan urusanku...dia memberitahuku jelas dari kerutan di dahinya. Dia terdiam, lama...tapi Aku tetap menunggu jawab.
”Aku berhenti...menunggumu!!” ujarnya sebelum berlalu pergi. Terhenyak sadarku, ruang waktu menyatu, kilasan cerita balikkan sesal yang telantarkan rindu.
Ahhh...derai hujan berganti rintik, air panas di panci habis menguap, sinetron berakhir “to be continued”, panas seterika hanguskan baju, kukunya habis dipangkas sebelum bertumbuh, bahkan jatah bulanan di panjar sebelum waktunya. Kisah ini usai. Waktu berjalan sangat lambat di duniaku. Aku menunggunya kembali menunggu...