Jumat, 28 November 2008

"Kisah lama-jilid sekian"


Perempuan itu tengah asyik membaca sesuatu, sesekali dia berpaling pada seseorang yang duduk di sampingnya, tersenyum simpul atau hanya memandangnya dalam diam. Kadang, dia mendapat tanggapan, kadang sepertinya tak ada yang tau kalau dia sedang berbicara. Sepertinya mereka bukan kekasih, mungkin dua orang kawan lama yang baru berkenalan. Dimensi ruang mereka yang berbeda, tiba-tiba berhenti di detik yang sama, membentuk semacam simpul yang membuat mereka bersama saat ini.
Mmm..ruangan ini terlalu kecil untuk menyembunyikan maksud yang tersembunyi dari rangkaian acak takdir. Tak ada yang tau ke mana waktu akan membawa mereka.

Namanya Asa. Jiwa yang neurosis dengan hati yang perlahan nekrosis di beberapa lobus. Seandainya ahli forensik berhasil membedahnya, mereka akan menemukan sel-sel heksagonal yang terselubung selaput sesal, kehitaman karena rasa bersalah, dan beberapa diantaranya mati karena hipoksik dalam sepi. Sound’s like pathetic.
Entah sejak kapan, dia selalu menyusuri jalan-jalan tikus di tengah kota, belajar merangkak dan bersembunyi di balik semak. Kadang dia berhenti di sudut jalan, menanti jalanan sepi agar bisa menyeberang. ”Semakin banyak benturan, akan semakin sakit,” katanya, saat Aku menanyakan mengapa dia memilih menghindari keramaian.
Kami tak pernah berkenalan secara resmi. Entah mengapa, dia selalu datang padaku saat malam menutup mata, dan lelap mengusir kata. Kadang dia datang dengan mata sembab, kadang dengan tertawa dan kadang dengan wajah yang sangat bingung. Biasanya, Aku hanya akan duduk mendengarkan dia bercerita, menimpalinya dengan bergumam atau menguap. Beberapa diantara ceritanya sudah usang, hanya kisah-kisah yang mengalami reinkarnasi, pemain baru atau lama, bagiku terdengar sama saja.

”Lagi buat apa?” Aku melihat Asa menggeser tubuhnya ke samping.
”Mmm....”
Asa menjawab gumaman itu dengan sebuah senyum, bukan gerak refleks tanpa arti yang sering digunaknnya untuk menetralkan suasana, tapi bentuk jujur dari rasa terima kasihnya akan sosok yang tak memberinya kata di sore itu. Dia lebih menyukai dihadiahi kebisuan, diberi tatapan kosong tanpa rasa, daripada ditawarkan gelak dan senyum manis yang diakhiri pandangan sayang. Semua itu malah akan jadi horor untuknya.
Asa kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi. Diraihnya sebuah buku dan mencoba menyibukkan diri untuk beberapa saat.

”Aku ingin pacar.” ujarnya padaku di suatu malam, saat kami bersama-sama menunggu kendaraan umum. Dia dalam perjalanan pulang.
” Mengapa, bukannya tiap hari dirimu bercinta?” tanyaku.
”Aku butuh teman bercinta...” Dia mengulum senyum.
”...dan mengantarku pulang, mungkin...”
Jawaban pendek yang membuatku tertawa.
”Andai dirimu sesederhana itu.” Angin berdesah pelan, ikut mengaminkan.
”Hakhahahaa,” Dia terbahak, memecah sepi. Kami melewatkan beberapa kendaraan.
”Mmm ...Mungkin terlalu banyak sakit hati?” keningnya berkerut, tampak tak yakin dengan apa yang diucapkannya.
Aku menggelengkan kepala, ”Atau, terlalu banyak rasa bersalah?”
Dia menoleh padaku, sebelum menghentikan sebuah kendaraan yang hampir berlalu. Dia duduk di sisi dekat pintu, membuka lebar2 jendela di dekatnya.
”Atau keduanya?” Asa menyambung pembicaraan kami yang terputus.
Aku mengangguk, kombinasi yang sangat bagus untuk membuat seseorang benar-benar ingin bersembunyi, tertidur seribu tahun dan terbangun dengan kisah yang baru.

”Aku sudah selesai,” Asa berdiri dari kursinya, mengambil tas dan menunggu lelaki itu berdiri. Kuminta dalam hati, agar dia mengakhiri senyumnya, agar dia berhenti berujar, agar dia tak menatapnya, agar dia segera berlalu, agar tak ada cerita baru yang harus kudengarkan malam ini dan malam-malam selanjutnya.
Tapi......canda itu berlanjut......lama, jauh membunuh waktu. Gumaman berganti senyum lebar, perlahan semakin riuh dengan gelak yang tak lagi malu.
Dan Aku berlalu, menunggunya di sudut kamar dengan segelas susu dingin, menahan kantuk untuk mendengar dongeng sesal yang akan didendangkannya malam nanti hingga kami tertidur. Dia menceritakan kisah lama, jilid ke sekian.

Kamis, 06 November 2008

Hikzzzz


[Hujan, Okt’26]

Dia membuatku menangis hari ini. Awalnya kucoba untuk tertawa, mengeluarkan sedikit endorfin untuk menguatkan tanggul di sudut-sudut mataku, tapi ternyata ada yang menghimpit dadaku terlalu kuat. Bibirku bukannya melengkung ke atas membentuk senyum tapi malah ke bawah melukis ringisan. Dasarr…Aku menekan alarm kebakaran. Pintu air terbuka dan menerjang tanggul hingga retak-retak, air merembes pelan-pelan dan mengalir satu-satu dari ujung mataku. Aku menahan isak di tenggorokanku, menarik nafas dalam- dalam agar ia tertarik masuk kembali ke rongga dada.

Ingin rasanya mengumpat, mengotori mulutku dengan sumpah . Tapi, Aku tau tak ada yang bermaksud membuatku harus tinggal di serapahkamar menunggu konjungtivaku kembali putih. Sepertinya, ini hanya sedikit permainan takdir yang luput dari sadar.

Aku belajar sesuatu dari sesenggukan tertahan pagi ini. Saat seseorang bertanya arti kekasih, saudara atau sahabat. Aku yakin tak pernah bisa menjawab dengan tepat. Yang kutau, saat seseorang berbuat hal yang tak diinginkan, dan rasanya seperti ulu hatimu dipukul dengan keras, dadamu dihimpit hingga sesak, dan terasa hangat di kedua matamu. Maka yakin saja…kalau dia orang yang kau sayangi.

Aku jadi ingat adikku. Sejak tingginya melampauiku, Aku tak pernah lagi membuatnya menangis, tapi giliranku yang dibuat terisak. Hanya saja, sepuluh menit setelahnya, Aku selalu lupa dan kembali sibuk mencarinya. Aku bukannya tak ingat dia menyakitiku, tapi Aku lupa kalau marah padanya.

Sssshhhh…kali ini sepertinya…..Aku juga lupa…..

[phone ringing]

Mmm… Aku mulai ingat sesuatu.

[hujan deras]

Jumat, 10 Oktober 2008

"CITO menikah"

Gerahhh...sudah hampir 3 jam, kuhabiskan waktu depan laptop. Memelototi sambil sesekali menekan keyboard. Di sudut kamar, beberapa gadis (teman2ku sesama coass)saling berceloteh, terkikik-kikik dan kadang membisu. Hampir selama diriku, mereka saling bercerita, semakin lama semakin riuh dan semakin panas. Ini virus endemik yang sedang menyebar di rumah sakit, mengalahkan infeksi nosokomial, tapi bukannya menyerang pasien dan keluarganya, malah menyerbu dokter2 muda yang sebentar lagi melepas predikat "muda"nya, dan hanya menyemat predikat "dokter" yang tidak lagi muda.
"eh..si anu mau nikah?"
"ohh..putus q kah? sa kira sudah mau mi nikah?"
"di jodohkan ki di'?.."
Tiba-tiba saja menikah menjadi ambisi dan obsesi. Semua merasa menyandang "perawan tua"...padahal umur masih 22, baru 23, jalan 24 dan hampir 25 tahun.
Hehehe..Aku jadi ingat pada ibu dan nenekku. Dua perempuan yang mengajarkanku kapan harus menunduk malu, kapan harus tersenyum menggoda, kapan harus menangis, dan kapan harus tertawa. Kemarin, mereka mengenalkanku pada seseorang, dua opsi yang berbeda dari dua perempuan yang merasa tau apa yang kubutuhkan.

Aku hanya tertawa saat itu, berpikir apakah sudah ada uban yang mencuat di sela rambutku, apakah mulai ada kerutan di sudut mataku, apakah di perut dan pahaku mulai terbentuk gelambir, apakah Aku sudah sangat peot dan reot hingga tak bisa menggoda satu pria pun dan memaksanya melamarku.

Ini adalah tuntutan sosial yang merongrong dan mengkungkung kebebasan bercinta. Saat rasa itu butuh waktu sekian hari untuk menjadi cinta, ketakutan dan tuntutan membuatnya menjadi cinta karbitan. Terlihat nanak tapi rasanya hambar. Hingga saat percintaan itu dipenuhi sakit dan diisi dengan tangisan di ujung malam, bukannya salah pilih tapi memang mereka tak membuat ada pilihan yang lain.

Melihatku tak acuh, mereka mulai menanyakan kekasihku. Aku semakin tergelitik. Ibuku tak berkata apa-apa, diam tanpa senyum yang tertahan dan kerutan yang membekas. Dia mengenalku dengan baik, mengenali kisah cinta yang kudongengkan setiap malam, mengenali rasa yang membuatku menggeleng dan menahan senyum. Nenekku semakin memandang iba padaku, saat dia seumurku, anaknya sudah setengah lusin. Saat umurnya baru 16 tahun, kakekku adalah pria kesekian yang mengajaknya menikah. Dan kami...
Hakhahahahaha
"CITO menikah!!!!"

(bersambung)

Kamis, 09 Oktober 2008

"mandi"

Beberapa hari ini, air PAM tersendat-sendat. Kadang mengalir, kadang menetes. Ku coba menunggunya, berdiri di samping bak mandi, lirih memanggil-manggil dewa air yang mungkin terlelap. Aku tau itu mustahil, tapi...sudahlah, sedikit imajinasi dan kekonyolan kadang berhasil dengan cara yang misterius. Hampir setengah jam berlalu, berbalut handuk hijauku dengan rambut yang sudah kugerai, Aku mulai patah asa. Dingin juga mulai berani membelai-belai bahu dan tengkukku yang terbuka. Aku mulai mendidih, kuhentak-hentak lantai kamar mandi sambil menggerutu. Aku benci. Tak ada mandi sore hari ini, serupa dengan pagi tadi. Grrrr...