Kamis, 20 Agustus 2009

"ekspresi...yang sama"





Beberapa hari yang lalu…
Perempuan tua itu bergidik, setengah tak percaya memandangnya dengan mimik yang sulit tergambarkan. Dia menelan ludah, bekukan hati dan tulikan setiap sel-sel tubuh yang dapat menyimpan memori tentang apa yang akan didengarnya sebentar lagi. Dia telah terlatih menangani keadaan ini. Bukannya hal baru yang akan membuatnya mati terkejut, tapi ini cerita basi yang selalu dipanaskan saat mereka bertemu dengannya, cukup satu pertanyaan dan ini akan menjadi perbincangan hangat untuk orang-orang yang seketika merasa berhak membeberkan dosa-dosanya, membacakan tuntutan dan mengakhirinya dengan menjatuhkan vonis seolah itu karma untuknya.
”Kemari nak!” Perempuan tua itu menarik lengannya, mengajaknya untuk duduk dan menatapnya lekat. Dia tahu perempuan yang melahirkan ibunya 54 tahun lalu itu, cukup terkejut saat mendengar tentang berapa lama dia telah bernafas di dunia ini, dan semakin membuatnya mengurut dada saat tahu dia belum juga berbagi nafas dengan orang lain hingga detik itu. Petuah-petuah dengan segera membanjiri telinganya, deras mengalir menghantam ketenangan yang terus dibangunnya kokoh beberapa tahun terakhir. Kerutan di dahi perempuan tua di depannya yang tak pernah berubah sejak dia berceloteh, menggelitik pikirnya, dan membuatnya sedikit terhibur, membayangkan uban di rambut neneknya akan semakin putih karena dirinya. Seolah khidmat meresapi setiap kata, dia tertunduk, mengulum senyumnya, berpikir tentang kemungkinan ketuaan telah memanipulasi pendengaran neneknya dan membuatnya neneknya berpikir kalau dia lebih tua sepuluh tahun dari umurnya sekarang.
”Nek...umurku 24 tahun,” dia mencoba memastikan.
”Saat seumurmu, nenek sudah memiliki tiga anak,” Dia memutuskan untuk meringkuk, diam. Tak ada gunanya membantah, atau membisikkan ulang ke telinga neneknya kalau dia baru berumur 24 tahun, bukannya 34 tahun, kalau dia masih memiliki waktu kurang lebih 20 tahun sebelum menopouse, kalau dia masih bisa memberikan sepuluh cicit untuk neneknya, kalau dia...belum terlalu tua...
Perempuan tua itu...menggeleng resah.

Beberapa jam yang lalu...
Peluh meresap seketika, basahi baju perempuan muda yang terus mengeluh kesakitan, menggigit bibir bawahnya, menahan lidahnya untuk tak berteriak histeris. Di sisinya, seorang pria dengan peluh yang tak kalah banjirnya, ikut menggigit bibir bawahnya, menahan lidahnya untuk tidak mendesiskan ketakutan yang jelas terbayang di wajahnya. Pemandangan yang selalu menjadi cerita baru untuknya, membuatnya menerka seberapa dalam kasih yang hadir diantara mereka, seberapa yakin saat mereka berani membagi hidupnya, seberapa besar kobaran rasa akan bertahan sebelum mati tersiram hujan.
”Dok....masih lama?” Perempuan itu berusaha menggapainya. Dia mendekat, membiarkan perempuan itu mencengkram lengannya saat rahimnya kembali kontraksi. Bayi di dalam perutnya mulai liar mencari jalan keluar.
”Sakit...dok,” dia mengangguk, berharap perempuan itu memahami empati yang dirasakannya.
”Sabar yahhh...harus sakit agar bayinya keluar,” dia telah mengatakannya sejak beberapa jam yang lalu, sejak kontraksinya mulai semakin sering, sejak erangan semakin sering terdengar, saat genggaman perempuan itu semakin kuat, saat wajah pria yang berdiri kaku di samping tempat tidur semakin terlihat pasi.
”Belum waktunya yah...dok?” Dia mengangguk lagi.
”Dokter sudah punya anak?” Perempuan itu kembali bertanya, membuatnya tertegun, mencari ekspresi yang sama dengan ekspresi neneknya beberapa hari yang lalu. Apakah perempuan ini akan merasa lebih baik saat dia mengatakan dia pernah melalui hal yang sama, ataukah itu pertanyaan basi yang sama dengan yang lain, sekedar mengisi kekosongan dan mencari ruang untuk dapat merasa lebih baik setidaknya sifat dasar manusia untuk menemukan titik aman dengan mengetahui bukan hanya dirinya yang menderita.
Dia merasakan sesuatu menggelitik di dalam perutnya, semakin kuat dan membuatnya berusaha keras menahan tawa. Dia menemukan ekspresi yang dicarinya ada di wajah pria yang sejak tadi berusaha keras menahan kegugupannya, saat melihatnya kali ini..dia menggeleng.

Beberapa menit yang lalu...
”Ada yang ingin melamarmu, ” Perempuan itu mengalihkan perhatian padanya. Dia memandangi koran pagi yang sejak tadi dibacanya, yang baru saja huruf-hurufnya seketika terlihat buram. Dia balik menatap perempuan yang melahirkannya 24 tahun lalu. Melihatnya terdiam, ibunya mengulang pernyataan yang sama.
”Ohhh...” dia menggumam, itu pernyataan pikirnya. Bukan pertanyaan yang mewajibkannya memberi jawaban.
”Dia baru akan datang kalau kau menerimanya,” masih tetap pernyataan, pikirnya lagi. Setidaknya, ibunya memberinya waktu untuk memamah dan mencerna apa yang baru saja didengarnya.
”Jadi...?” dia berharap, Ibunya baru akan menanyakannya esok pagi.
”Apa kami saling kenal?” Ibunya menggeleng.
”Dia pernah melihatmu,” Kata-kata membatu. Haruskah dia mendebat ibunya dengan cerita tentang Khadijah yang meminta orang untuk mengikuti Muhammad, mencari tahu tentang dirinya sebelum memutuskan untuk mengabdi padanya, atau tentang persamaan hak yang diperjuangkan Kartini beberapa puluh tahun lalu, atau mengingatkan ibunya kalau ini tahun 2009, saat hak-hak asasi telah diakui di seluruh dunia, bahkan mendapat perlindungan hukum dengan sanksi yang sangat jelas.
Dia membiarkan udara mengendap beberapa saat, biarkan riak emosinya yang tak teratur menemukan nadanya kembali.


Ahhh...kembali menemui ekspresi neneknya di beberapa wajah lagi kedengarannya tidak lebih buruk dibanding menemukan dirinya yang lain duduk di tengah dapur yang lengang, di bawah kesuraman lampu, ditemani isak yang berkisah tentang kesalahannya “membeli kucing dalam karung”*
Dia meninggalkan ibunya yang tiba-tiba terlihat seperti neneknya.
Menggeleng dan menunjukkannya...ekspresi yang sama.
[sigh]...

Sabtu, 15 Agustus 2009

"just..."

haaa...gerah, rasanya hampir muntah. Lidahnya terus saja bergoyang, menyambar setiap kata, mengunyahnya lahap dan menyemburkannya ke udara. Air liurnya berserakan, menempel di tiap huruf yang lepas, sisanya menguap menambah pengap. Aku bisa mendengar kepalanya penuh dengan ular yang mendesis, menggeliat gerah, menjilati tiap lekuk mangsa yang menggoda nafsunya liar.
"koq sendiri?" hasratnya membelai tengkuk.
"Heee..." Wajahku beku, sedikit miris menahan mual yang seketika mengaduk perut.
"tinggal di mana?" lagi, mulutnya ingin kusumpal dengan sumpah serapah.
"..." untuk kesekian, ku pilih mematung.
"namanya siapa?" Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa manis, asam lambungku meningkat, mendesak isi perut kembali ke esofagus, mengantri di belakang gigiku, tak sabar mendarat keras di wajahnya yang mesum.
Langkahku menjauh kabur, sebelum racun kumuntahkan lewat senyuman manis yang merangsang hasratnya ejakulasi,lepas tanpa episode berikut, sisakan onggok yang terkulai menuai pedih. Aku butuh mandi...air liurnya membuatku gatal.