Senin, 02 November 2009

"sulittt"

Sedikit kabut...terus mengaburkan pikirku, putusanku. Rasanya berat terus menua, dan seolah menanggung setengah beban dunia. Hidup terus mengejar dengan sejuta tuntutan yang sebenarnya lebih pada kewajiban sosial yang palsu dan hanya kamuflase. Sayangnya, Aku terjebak di sana, sayangnya..aku tak cukup kuat 'tu bepaling saja dan tak acuh, sayangnya..aku tetap peduli.
Terlalu takut 'tuk akui Aku penakut. Akui Aku kerdil karena membiarkan ketakutan itu mengendalikan separuh gerak.
Arghhh..kali ini waktu yang benar-benar mengejarku...

Kamis, 20 Agustus 2009

"ekspresi...yang sama"





Beberapa hari yang lalu…
Perempuan tua itu bergidik, setengah tak percaya memandangnya dengan mimik yang sulit tergambarkan. Dia menelan ludah, bekukan hati dan tulikan setiap sel-sel tubuh yang dapat menyimpan memori tentang apa yang akan didengarnya sebentar lagi. Dia telah terlatih menangani keadaan ini. Bukannya hal baru yang akan membuatnya mati terkejut, tapi ini cerita basi yang selalu dipanaskan saat mereka bertemu dengannya, cukup satu pertanyaan dan ini akan menjadi perbincangan hangat untuk orang-orang yang seketika merasa berhak membeberkan dosa-dosanya, membacakan tuntutan dan mengakhirinya dengan menjatuhkan vonis seolah itu karma untuknya.
”Kemari nak!” Perempuan tua itu menarik lengannya, mengajaknya untuk duduk dan menatapnya lekat. Dia tahu perempuan yang melahirkan ibunya 54 tahun lalu itu, cukup terkejut saat mendengar tentang berapa lama dia telah bernafas di dunia ini, dan semakin membuatnya mengurut dada saat tahu dia belum juga berbagi nafas dengan orang lain hingga detik itu. Petuah-petuah dengan segera membanjiri telinganya, deras mengalir menghantam ketenangan yang terus dibangunnya kokoh beberapa tahun terakhir. Kerutan di dahi perempuan tua di depannya yang tak pernah berubah sejak dia berceloteh, menggelitik pikirnya, dan membuatnya sedikit terhibur, membayangkan uban di rambut neneknya akan semakin putih karena dirinya. Seolah khidmat meresapi setiap kata, dia tertunduk, mengulum senyumnya, berpikir tentang kemungkinan ketuaan telah memanipulasi pendengaran neneknya dan membuatnya neneknya berpikir kalau dia lebih tua sepuluh tahun dari umurnya sekarang.
”Nek...umurku 24 tahun,” dia mencoba memastikan.
”Saat seumurmu, nenek sudah memiliki tiga anak,” Dia memutuskan untuk meringkuk, diam. Tak ada gunanya membantah, atau membisikkan ulang ke telinga neneknya kalau dia baru berumur 24 tahun, bukannya 34 tahun, kalau dia masih memiliki waktu kurang lebih 20 tahun sebelum menopouse, kalau dia masih bisa memberikan sepuluh cicit untuk neneknya, kalau dia...belum terlalu tua...
Perempuan tua itu...menggeleng resah.

Beberapa jam yang lalu...
Peluh meresap seketika, basahi baju perempuan muda yang terus mengeluh kesakitan, menggigit bibir bawahnya, menahan lidahnya untuk tak berteriak histeris. Di sisinya, seorang pria dengan peluh yang tak kalah banjirnya, ikut menggigit bibir bawahnya, menahan lidahnya untuk tidak mendesiskan ketakutan yang jelas terbayang di wajahnya. Pemandangan yang selalu menjadi cerita baru untuknya, membuatnya menerka seberapa dalam kasih yang hadir diantara mereka, seberapa yakin saat mereka berani membagi hidupnya, seberapa besar kobaran rasa akan bertahan sebelum mati tersiram hujan.
”Dok....masih lama?” Perempuan itu berusaha menggapainya. Dia mendekat, membiarkan perempuan itu mencengkram lengannya saat rahimnya kembali kontraksi. Bayi di dalam perutnya mulai liar mencari jalan keluar.
”Sakit...dok,” dia mengangguk, berharap perempuan itu memahami empati yang dirasakannya.
”Sabar yahhh...harus sakit agar bayinya keluar,” dia telah mengatakannya sejak beberapa jam yang lalu, sejak kontraksinya mulai semakin sering, sejak erangan semakin sering terdengar, saat genggaman perempuan itu semakin kuat, saat wajah pria yang berdiri kaku di samping tempat tidur semakin terlihat pasi.
”Belum waktunya yah...dok?” Dia mengangguk lagi.
”Dokter sudah punya anak?” Perempuan itu kembali bertanya, membuatnya tertegun, mencari ekspresi yang sama dengan ekspresi neneknya beberapa hari yang lalu. Apakah perempuan ini akan merasa lebih baik saat dia mengatakan dia pernah melalui hal yang sama, ataukah itu pertanyaan basi yang sama dengan yang lain, sekedar mengisi kekosongan dan mencari ruang untuk dapat merasa lebih baik setidaknya sifat dasar manusia untuk menemukan titik aman dengan mengetahui bukan hanya dirinya yang menderita.
Dia merasakan sesuatu menggelitik di dalam perutnya, semakin kuat dan membuatnya berusaha keras menahan tawa. Dia menemukan ekspresi yang dicarinya ada di wajah pria yang sejak tadi berusaha keras menahan kegugupannya, saat melihatnya kali ini..dia menggeleng.

Beberapa menit yang lalu...
”Ada yang ingin melamarmu, ” Perempuan itu mengalihkan perhatian padanya. Dia memandangi koran pagi yang sejak tadi dibacanya, yang baru saja huruf-hurufnya seketika terlihat buram. Dia balik menatap perempuan yang melahirkannya 24 tahun lalu. Melihatnya terdiam, ibunya mengulang pernyataan yang sama.
”Ohhh...” dia menggumam, itu pernyataan pikirnya. Bukan pertanyaan yang mewajibkannya memberi jawaban.
”Dia baru akan datang kalau kau menerimanya,” masih tetap pernyataan, pikirnya lagi. Setidaknya, ibunya memberinya waktu untuk memamah dan mencerna apa yang baru saja didengarnya.
”Jadi...?” dia berharap, Ibunya baru akan menanyakannya esok pagi.
”Apa kami saling kenal?” Ibunya menggeleng.
”Dia pernah melihatmu,” Kata-kata membatu. Haruskah dia mendebat ibunya dengan cerita tentang Khadijah yang meminta orang untuk mengikuti Muhammad, mencari tahu tentang dirinya sebelum memutuskan untuk mengabdi padanya, atau tentang persamaan hak yang diperjuangkan Kartini beberapa puluh tahun lalu, atau mengingatkan ibunya kalau ini tahun 2009, saat hak-hak asasi telah diakui di seluruh dunia, bahkan mendapat perlindungan hukum dengan sanksi yang sangat jelas.
Dia membiarkan udara mengendap beberapa saat, biarkan riak emosinya yang tak teratur menemukan nadanya kembali.


Ahhh...kembali menemui ekspresi neneknya di beberapa wajah lagi kedengarannya tidak lebih buruk dibanding menemukan dirinya yang lain duduk di tengah dapur yang lengang, di bawah kesuraman lampu, ditemani isak yang berkisah tentang kesalahannya “membeli kucing dalam karung”*
Dia meninggalkan ibunya yang tiba-tiba terlihat seperti neneknya.
Menggeleng dan menunjukkannya...ekspresi yang sama.
[sigh]...

Sabtu, 15 Agustus 2009

"just..."

haaa...gerah, rasanya hampir muntah. Lidahnya terus saja bergoyang, menyambar setiap kata, mengunyahnya lahap dan menyemburkannya ke udara. Air liurnya berserakan, menempel di tiap huruf yang lepas, sisanya menguap menambah pengap. Aku bisa mendengar kepalanya penuh dengan ular yang mendesis, menggeliat gerah, menjilati tiap lekuk mangsa yang menggoda nafsunya liar.
"koq sendiri?" hasratnya membelai tengkuk.
"Heee..." Wajahku beku, sedikit miris menahan mual yang seketika mengaduk perut.
"tinggal di mana?" lagi, mulutnya ingin kusumpal dengan sumpah serapah.
"..." untuk kesekian, ku pilih mematung.
"namanya siapa?" Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa manis, asam lambungku meningkat, mendesak isi perut kembali ke esofagus, mengantri di belakang gigiku, tak sabar mendarat keras di wajahnya yang mesum.
Langkahku menjauh kabur, sebelum racun kumuntahkan lewat senyuman manis yang merangsang hasratnya ejakulasi,lepas tanpa episode berikut, sisakan onggok yang terkulai menuai pedih. Aku butuh mandi...air liurnya membuatku gatal.

Kamis, 11 Juni 2009

Aku masih tak tahu arti diam itu...


“Bisakah Kau berhenti memandangiku?”
Aku tergagap, “Maaf, Aku hanya senang melakukannya.” Kualihkan pandanganku ke pengunjung lain yang juga asyik berbincang, tapi hanya sejenak, karena Aku mendapati tatapanku kembali tertuju padanya.
Dia tertawa, menemukanku kembali memandanginya. Aku hanya bisa tersenyum, tak ada gunanya bersembunyi, toh Aku tertangkap basah.

Kami sering menghabiskan malam di tepi jalan ini, dalam keremangan warung kopi yang sangat sederhana. Hanya ada satu lampu yang menerangi warung, sisa kegelapan di terangi oleh lampu jalanan, yang kadang berpendar, kadang meredup. Kami menyukai musik kebisingan yang tak hentinya dimainkan para pengguna jalan, juga derit ban mobil yang berhenti saat lampu merah, gas yang dipacu saat lampu hijau menyala. Kami bisa melihat Penjual Koran yang menyelip diantara pengendara, mengetuk kaca mobil, menunjukkan Koran pagi yang beritanya hampir basi, juga pengamen dengan alat musik seadanya, bersenandung, bergoyang meminta recehan.

“Aku benci tersipu malu,” ujarnya, sambil menitipkan kerlingan nakal di akhir tawanya yang tertahan.
“Aku menyukainya, boleh kan?” kataku. Dia tertunduk, menjawabku dengan diam.
Ahhh…perempuanku, sungguh mati Aku cinta, tapi Aku tak berani menebak arti diam itu.


Sebulan terakhir ini, Aku sering merindukannya. Waktu menua, tapi ingatanku kembali muda. Membuntutiku dalam tidur, menguntit saat Aku menyeberang jalan, mengintipku saat mandi. Sering Aku mengiriminya salam, tapi saat angin enggan bertiup, jika awan hitam mengancam fajar, ketika malam memekat, hanya bila Ku yakin salam itu tak akan pernah tiba. Aku takut sedih gelayuti rautnya, saat dia tahu bahagiaku mengendap, memadat dan membatu.

Aku tak akan berkata, 5 tahun pernikahanku hanya tentang bualan cinta. Aku menikmatinya, memandang wajah perempuanku yang terlelap lelah menunggu, mendapati raut sedihnya saat mengakui dia menghanguskan makan siang kami, menemukannya sembunyikan malu tiap mendengar rayuanku. Indah...hingga waktu kelabui sadarku, samarkan retak yang pelan-pelan menebal rapuhkan bangunan kemesraan. Ke-Akuan menjadi angkuh, saat ”kita berdua” susut menjadi ”hanya saya”, Bercinta menjelma ritual wajib yang lakunya kita hapal di luar kepala, naik ranjang, tuntaskan ejakulasi, akhiri dengan lelap. Tak ada lagi mimpi yang serupa selepas bercinta, hanya tersisa dua onggok tubuh dengan selimut sebatas dagu, saling memunggungi tanpa sudi kembali meraba dan berbagi hangat.

Dingin, bulan mulai tak tampak, larut dalam pekatnya malam. Bukannya kembali ke rumah, Aku malah lalu lalang di jalanan yang mulai sepi, susuri kisah lalu, berharap ada jejak rasa yang akan menuntunku pulang. Kuputuskan menepi,mengunjungi warung kopi yang menyimpan kisahnya. Tempat itu masih berdiri di sana, kecuali warna catnya yang berganti, semuanya tetap sama. Lapuknya, apeknya, remangnya, bisingnya, bangkunya, mejanya.

”Mencari siapa?” tersentak Aku mengenali suara itu. Perempuan itu di sana, di bangku yang sama, memandangiku yang sedang terpaku. Dia tersenyum, dengan anggukan memintaku mendekat.

”Hakhahahha..ternyata kita bertemu di sini,” tawa itu masih sama bagiku. Terdengar begitu ringan, renyah rekah tundukkan angkuh yang selama ini redam rasa. Aku menemukannya kembali, dia pun tak banyak berubah, hanya sedikit gurat kedewasan seiring umur yang menua. Aku tak menyadarinya kemarin, entah kemana kami menghilang. Pandangku tak ingin alih, reguk rindu sepuasnya, biar cinta tergelitik bangkit dan menyelamatkan hidupku.

”Mengapa memandangiku seperti itu?” tanyanya.

”Ingin membuatmu tersipu,” ujarku masih dengan menatapnya.

”Aku mulai lupa caranya tersipu.”

”Atau Aku yang lupa cara membuatmu tersipu,” dia mengangkat bahu, menunduk memainkan jemarinya.

”Kita menjadi pelupa yah?” Aku mengangguk.
Kita hanya melupakan caranya, tapi kita tak lupa dengan rasanya. Kisah itu masih mengikat kuat, menarik kita kembali telisik masa lalu. Seperti saat kita kehilangan barang, kita akan kembali susuri jalan-jalan yang pernah dilalui, memungut ingatan satu persatu, berharap menemukannya celah kealpaan di sana, titik dimana kita harus berhenti 'tuk memperbaikinya.

“Ayo pulang...!!!” Dia tak bergeming.

“...kita belajar jatuh cinta lagi...” Dia tak mengangguk, juga tak menggeleng. Hanya mendekat dan jatuhkan diri dalam dekapku.

Ahhh...perempuanku!!! Aku masih tak tahu arti diam itu.

Senin, 25 Mei 2009

"Ahhh..Ibu..!!!"


Aku senang mendekatkan tubuhku padanya, berbagi hangat dalam beku malam yang rambati punggung kami. Biasanya, dia akan membentangkan lengan dan biarkanku menelusup di balik dekapnya.
Saat itu, kami akan banyak bercerita, tentang masa kecilnya dan masa kecilku, kekasihnya dan kekasihku, saudaranya dan saudaraku, ayahnya dan ayahku. Kadang, kami juga bercerita tentang suami tetangganya, istri tetangganya, anak tetangganya, pacar anak tetangganya, bahkan tetangga dari tetangganya.

Tapi Aku tak menyadarinya, hingga kemarin...saat teh hangat tersaji sambut pagi, kepul nasi goreng bubarkan kantuk, berita pagi di TV ramaikan hari. Tidak seperti biasanya, hari itu tak ada omelan yang gaungnya hingga tembok tetangga. Dia begitu tenang, hanyutkan resahku karena tak biasa.

"Ada yang berubah?" tanyanya dengan gaya bak model.
"Berubah??Apa??" tatap dirinya sedekat mungkin.
"Lihat dong...!!!" Dia mempermainkan rambutnya.
Hayyaaa...ada yang baru di rambutnya. Aku tertawa,rambut itu sekarang berwarna merah kecoklatan. Celotehnya mengalir tentang teman kantor yang mengajaknya warnai rambut dengan daun pacar.
"Cantik..." ku peluk dirinya.

K tutupi haru dengan tawa...di sana pun Ku dapati guratan usia yang semakin tebal di wajahnya, garis-garis ketuaan di sudut matanya, di bibir, di dahi, gerak yang tak selincah dulu, marah yang tak sehebat dulu, tawa yang tak segirang dulu.
Ahhh...Ibuku, Maaf...Aku terlalu sibuk.

Selasa, 19 Mei 2009

"cintaku cemburu"


Aku tak mengerti...
Kemarin...dia tersengal hampiriku, gelayut manja, celoteh tak berkesudahan hingga mulutnya kering.
"Ada apa?" tanyaku. Jeda berinya waktu berpikir, tapi bibirnya tetap rekahkan senyum.
"...sedang jatuh cinta?"
"..."
Diamnya mengatakan ya, dan hela nafasku cukup menanggapinya.
Ingatanku kembara...saat Aku terakhir menemaninya, saat raganya mengalami trance tiap kali bersentuhan dengannya, kuasanya hilang, berganti pipi yang merona, senyum gugup, jemari gelisah. Haa..merasakannya lagi mungkin bak menuruni tangga yang menjulang ke langit, tapi sebelum mata mengerjap, kaki telah tapaki bumi.
"Kau senang, dia menemani lagi??"
Lidahnya kelu, Dia tak tau Aku pun ragu.
"Kali ini, dia akan tinggal berapa lama?" tanyaku selipkan resah.
Dia mengangkat bahu, Aku meringis.


Tapi...hari ini. Bibir itu menukik tajam ke bawah, wajahnya mengerut cemberut, sedu iringi sendu. Aku bergidik, kemuraman yang suram, pikirku.

"Aku cemburu," sungutnya kesal. Pun cinta hidupkan imunitas, matikan skotofobia dan kortisol, Aku tak yakin dia akan kebal terhadapnya. Toh, cemburu sudah setua umur manusia, dilahirkan kembar dengan rasa cinta saat Adam dan Hawa tercipta.

"Cemburu???" Gelak ku tak tertahan, abaikan rupanya yang masam. Rasa aneh itu seperti reaksi alergi. Pajanan pertama, sel-sel masih mengabaikannya, atas nama cinta mereka dibolehkan untuk singgah. Seperti bumbu dapur yang gugah selera hingga air liur pelan menetes. Dia hanya penyedap rasa. Pajanan kedua, ketiga...masih sama. Hingga sel mulai jemu, keluh jenuh tiap cicipi rasanya. Muak, habiskan waktu muntahkannya di dalam kloset, di sisi pintu, di balik pohon, di depan wajahnya.

"Bukannya cemburu itu cinta?" Dia menggeleng.

"Cinta tidak boleh menyiksa seperti ini," ujarnya terdengar ragu. Iya..cemburu adalah emosi yang dikonstruksi secara sosial, artinya sesuatu yang timbulkannya telah ditentukan secara kultural.
Tak tau harus berbuat apa, kuraih dirinya dalam dekapku. Perlahan isak pecah kebisuan. Hatinya geliat gelisah, tersesat resah coba puaskan dahaga mengharap lega.

Cerita ini seretku paksa, pandangi sebuah sel pesakitan yang menunggunya, kasusnya masih bergulir di pengadilan, menanti vonis hukuman karena dia telah berani jatuh cinta.

Haaa...cerita berulang yang tak pernah usai.

Sabtu, 02 Mei 2009

"Red Code"...jatuh cinta

Dia duduk di sudut kamarku, tersenyum dengan barisan giginya yang rapi. Saat itu, setengah kantuk, mataku terpicing ke arahnya, hentak sadarku, gaduh ku terpaksa menekan alarm waspada "red code". Aku yakin sedang bermimpi, tarik selimutku, bungkus tubuhku rapat, risau kudekap gelap.
...2 menit, 3..4..7 menit, 10 menit...sesak, singkap selimutku sebatas dagu. Argghhh...dia masih di sana, kali ini diam menatapku, beku membuatku kaku. Aku tertangkap, lengah terjebak perangkap.
Saatnya bangun, masa lalu mengajariku tak mungkin lari darinya. Rasa ini...

"Kali ini, akan tinggal berapa lama?" titip sesal, kesal di akhir kalimatku.
"Tergantung..." dia kali ini berdiri di sisiku.
"Kau membiarkanku masuk, Sayang..." dia menyentuh pipiku. Semburat pagi tergambar di sana. Aku hanya mengangguk, tak ingin meraih tangannya ataupun menepisnya. Aku mengakuinya. Kemarin pintu itu terbuka lebar, enggan kututup, entah lupa atau sedang tak ingin. Aku tak ingat lagi. Hirauku angkuh 'tuk tepis angin yang jatuhkan dedaunan kering. Entah kapan, dia datang dan mulai mengumpulkan daun-daun itu, menjadikannya sarang, memamahnya, pesat bertumbuh, besar...besar...terlalu besar untuk akhirnya menghimpitku, mengangkatku dan melemparku ke dinding. Lebih dari cukup untuk membuatku menyadari keberadaannya.

"Aku tak memintamu tinggal," ujarku pelan. Ku gigit bibir bawahku.
Dia tak pernah butuh undangan untuk datang, izin untuk tinggal, ataupun lambaian tangan untuk mengantarnya pulang. Hening, untuk sejenak tak bergeming.
Aku mengenal situasi ini, pilihan lintasan-lintasannya, rambu-rambu jalannya, kapan melaju, melambat ataupun berhenti. Tapi, tetap saja ada bekas luka, parutan panjang di betis, goresan di lengan, lebam di bawah mata. Mungkin Aku tertidur saat berjalan, menabrak pembatas jalan, tubruk sapi-sapi menyeberang, ataupun bergesekan dengan kendaraan lain. Ini indah, tapi tawa riang tak sisakan parut, isak luka yang jelas membekas.

Gusar..ku tinggalkan tempat tidur, kran air terbuka, cuci muka, sikat gigi...tanggung, skalian mandi saja, bersihkan sisa-sisa cerita lalu yang lekat.
"Hakhahahahahhaa..." tawaku ledak. Tak ada gunanya lari, tak izinkan sesali diri. Rasa itu di luar sana menungguku, membentuk sesosok rupa yang akan menemaniku jemput pagi, temani mimpi, hantar tidur...mulai esok.

Saatnya..untuk "jatuh cinta" lagi.
Fiuhhh...