Rabu, 11 Maret 2009

"parasit halte"

Dia sering bercerita tentang dirinya…dirinya yang jatuh hati padaku, dirinya yang memimpikanku, dirinya yang memujaku, dirinya yang menginginkanku.
Seperti sore ini, yang mulai terasa lembab, hujan menghantar senja dan mengetuk-ngetuk jendela di samping kursi kami. Deretan kursi terlihat lengang, tak ada tangisan bayi, rengek anak kecil yang ingin mendapatkan kursinya sendiri, remaja yang saling tersipu malu, ibu yang bergosip tentang teman sekantornya yang selingkuh, ataupun dengkur seorang ayah yang kelelahan setelah seharian memunguti rejeki, tak ada pengamen, tak ada pedagang asongan, tak ada yang lain. Hanya kami berdua, dalam bis yang terus melaju perlahan.
Dia mulai masuk ke dalam kisah yang lain. Kali ini, tentang betapa dia terluka karena mencintaiku, betapa dia tersiksa setiap malam karena merindukanku, betapa dia menyesali diri tak mengenalku sejak dulu, betapa dia menjadi gila karenaku. Aku hanya memandangi jendela yang buram, kisah suram itu membuatku semakin kusam, terisak tanpa air mata, terhenyak, terdesak rasa bersalah untuk semua sakit yang kuciptakan. Dia mengambil semua cinta itu, tanpa sisa untukku. Awalnya terkesan indah, saat bahuku tak perlu ikut pegal memanggulnya, jemariku tak lagi kram karena menentengnya kemana-mana. Saat Aku menginginkannya, dia akan senang hati memberikan, tanpa perlu merajuk, merutuk, merengut dan cemberut. Cintaku semakin pasif, lumpuh karena apoptosis di seluruh selnya. Mereka melakukan bunuh diri massal untuk penghinaan atas keberadaannya, keakuannya dan kini, Aku tak mampu lagi merasakan apa-apa, hambar. Embun di jendela meluruh, di luar sana hujan sudah mulai reda. Hanya gerimis yang tertinggal menyapu jalanan.
”Tak ingin menambah penumpang lagi???” Aku memotong sejenak, mencuri waktu untuk paru-paruku bernafas.
Dia menggeleng...”cukup dirimu saja.”
Bus terus saja melaju, mengikuti kecepatan alur dan plot kisahnya. Melambat saat dia bersedih karenaku, dan melaju kencang saat bahagia karenaku. Aku semakin mahir terdiam, mulutku terkatup rapat. Untuk menumpang, Aku hanya perlu telinga untuk mendengar, bukan mulut yang ikut membagi kisah, hingga Aku semakin lupa caranya bertutur. Kadang, Aku ingin berkisah...tapi tidak sampai satu halte, kisahku berakhir, tanpa seri 2, 3 dan seterusnya....dan itu membuatku mati. Untuk hidup, Akupun harus berkisah...kecuali Aku ingin menjadi parasit jahat yang pelan-pelan mematikan inangnya.
“Aku ingin turun,” dia memandangku marah, tanganku digenggamnya erat, takut seketika lepas dan Aku melesat pergi.
“Berkisahlah...!!!” pintanya, kali ini dia meraihku jauh ke dalam peluknya. Kulitnya begitu hangat, tapi tak mampu enyahkan beku di tubuhku yang sedingin es. Kuharap ada sedikit memori yang tertinggal di lapis kulitku, yang dapat ku kelupas satu-satu, hingga Aku pun dapat bercerita. Tapi, hufffhhh...hanya kulit-kulit mati yang tak lagi sempurna, robek, berlubang dan tak terbaca.
...dan di luar sana, gerimis berganti deras, langit gelap memekik, cahaya putih memercik di selanya. Aku mendelik, ragu menelisik, usik setan yang terkikik di balik helai-helai rambut.
”Baiklah...Aku tinggal,”dia melepasku dan tersenyum. Aku meringis, tatap kejauhan dari sisi bahunya. Halte berikutnya, masih sangat jauh.

”Dasar parasit...Aku masih butuh tumpangan.”

3 komentar:

abdul halik malik mengatakan...

nice story!!

iphenk mengatakan...

Assalamualaikum...
kanda...really interesting story...
btw link ka dule kanda...
powerful-minority.blogspot.com
and
iphenk-alibi.blogspot.com
nah...
jelek2 ji iya tulisan ku...tp link mi sj bede..hehe...

Amey mengatakan...

nice...
kata2 yg slalu sj indah...

bnr2. sastrawati kita...hehehe