Kamis, 11 Juni 2009

Aku masih tak tahu arti diam itu...


“Bisakah Kau berhenti memandangiku?”
Aku tergagap, “Maaf, Aku hanya senang melakukannya.” Kualihkan pandanganku ke pengunjung lain yang juga asyik berbincang, tapi hanya sejenak, karena Aku mendapati tatapanku kembali tertuju padanya.
Dia tertawa, menemukanku kembali memandanginya. Aku hanya bisa tersenyum, tak ada gunanya bersembunyi, toh Aku tertangkap basah.

Kami sering menghabiskan malam di tepi jalan ini, dalam keremangan warung kopi yang sangat sederhana. Hanya ada satu lampu yang menerangi warung, sisa kegelapan di terangi oleh lampu jalanan, yang kadang berpendar, kadang meredup. Kami menyukai musik kebisingan yang tak hentinya dimainkan para pengguna jalan, juga derit ban mobil yang berhenti saat lampu merah, gas yang dipacu saat lampu hijau menyala. Kami bisa melihat Penjual Koran yang menyelip diantara pengendara, mengetuk kaca mobil, menunjukkan Koran pagi yang beritanya hampir basi, juga pengamen dengan alat musik seadanya, bersenandung, bergoyang meminta recehan.

“Aku benci tersipu malu,” ujarnya, sambil menitipkan kerlingan nakal di akhir tawanya yang tertahan.
“Aku menyukainya, boleh kan?” kataku. Dia tertunduk, menjawabku dengan diam.
Ahhh…perempuanku, sungguh mati Aku cinta, tapi Aku tak berani menebak arti diam itu.


Sebulan terakhir ini, Aku sering merindukannya. Waktu menua, tapi ingatanku kembali muda. Membuntutiku dalam tidur, menguntit saat Aku menyeberang jalan, mengintipku saat mandi. Sering Aku mengiriminya salam, tapi saat angin enggan bertiup, jika awan hitam mengancam fajar, ketika malam memekat, hanya bila Ku yakin salam itu tak akan pernah tiba. Aku takut sedih gelayuti rautnya, saat dia tahu bahagiaku mengendap, memadat dan membatu.

Aku tak akan berkata, 5 tahun pernikahanku hanya tentang bualan cinta. Aku menikmatinya, memandang wajah perempuanku yang terlelap lelah menunggu, mendapati raut sedihnya saat mengakui dia menghanguskan makan siang kami, menemukannya sembunyikan malu tiap mendengar rayuanku. Indah...hingga waktu kelabui sadarku, samarkan retak yang pelan-pelan menebal rapuhkan bangunan kemesraan. Ke-Akuan menjadi angkuh, saat ”kita berdua” susut menjadi ”hanya saya”, Bercinta menjelma ritual wajib yang lakunya kita hapal di luar kepala, naik ranjang, tuntaskan ejakulasi, akhiri dengan lelap. Tak ada lagi mimpi yang serupa selepas bercinta, hanya tersisa dua onggok tubuh dengan selimut sebatas dagu, saling memunggungi tanpa sudi kembali meraba dan berbagi hangat.

Dingin, bulan mulai tak tampak, larut dalam pekatnya malam. Bukannya kembali ke rumah, Aku malah lalu lalang di jalanan yang mulai sepi, susuri kisah lalu, berharap ada jejak rasa yang akan menuntunku pulang. Kuputuskan menepi,mengunjungi warung kopi yang menyimpan kisahnya. Tempat itu masih berdiri di sana, kecuali warna catnya yang berganti, semuanya tetap sama. Lapuknya, apeknya, remangnya, bisingnya, bangkunya, mejanya.

”Mencari siapa?” tersentak Aku mengenali suara itu. Perempuan itu di sana, di bangku yang sama, memandangiku yang sedang terpaku. Dia tersenyum, dengan anggukan memintaku mendekat.

”Hakhahahha..ternyata kita bertemu di sini,” tawa itu masih sama bagiku. Terdengar begitu ringan, renyah rekah tundukkan angkuh yang selama ini redam rasa. Aku menemukannya kembali, dia pun tak banyak berubah, hanya sedikit gurat kedewasan seiring umur yang menua. Aku tak menyadarinya kemarin, entah kemana kami menghilang. Pandangku tak ingin alih, reguk rindu sepuasnya, biar cinta tergelitik bangkit dan menyelamatkan hidupku.

”Mengapa memandangiku seperti itu?” tanyanya.

”Ingin membuatmu tersipu,” ujarku masih dengan menatapnya.

”Aku mulai lupa caranya tersipu.”

”Atau Aku yang lupa cara membuatmu tersipu,” dia mengangkat bahu, menunduk memainkan jemarinya.

”Kita menjadi pelupa yah?” Aku mengangguk.
Kita hanya melupakan caranya, tapi kita tak lupa dengan rasanya. Kisah itu masih mengikat kuat, menarik kita kembali telisik masa lalu. Seperti saat kita kehilangan barang, kita akan kembali susuri jalan-jalan yang pernah dilalui, memungut ingatan satu persatu, berharap menemukannya celah kealpaan di sana, titik dimana kita harus berhenti 'tuk memperbaikinya.

“Ayo pulang...!!!” Dia tak bergeming.

“...kita belajar jatuh cinta lagi...” Dia tak mengangguk, juga tak menggeleng. Hanya mendekat dan jatuhkan diri dalam dekapku.

Ahhh...perempuanku!!! Aku masih tak tahu arti diam itu.

6 komentar:

Skydrugz mengatakan...

Ujung-ujungnya kosong juga.


Cinta semembara apapun itu, sehutan pun yang terbakar karenanya, sama ji, ujungnya kosong.

Amey mengatakan...

kurasa...

"aku sudah lupa cara membuatmu tersipu"

xixixixixi...
jgn smpe deh...
aku suka wajah tersipumu....!

nice kanda...^^

Skydrugz mengatakan...

@Ame: u th caranya?

Unknown mengatakan...

nice kanda....

@amey:pasti butuh waktu lama untuk belajar itu...

Skydrugz mengatakan...

Kak, knp tdk pernah nulis lg? Apa masih blm th arti diam itu?^^

Amey mengatakan...

@ sky & fadlan:
aih...

tdk susahji mmbuat org tersipu2...

blajar ko triknya sm pink magic (bkn pink panther nah...)